Revolusi Data: Transformasi Teori ke Data-Driven hingga ke AI-Driven

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia analisis telah
mengalami transformasi dari teori statistika klasik menuju era big data yang
kompleks, hingga kini merangkul kecerdasan artifisial. Perjalanan ini bukan
sekadar perubahan teknologi, tetapi juga jawaban dari kebutuhan manusia akan
kecepatan, akurasi, dan skala yang lebih besar dalam menghadapi tantangan
global. Analisis data secara teori-driven dilakukan dengan mengandalkan dasar
teori untuk menjelaskan perilaku data sedangkan data-driven menganalisis catatan
kejadian seperti apa adanya tanpa melakukan perubahan yang berarti terhadap
hasil studi atau data historis untuk melakukan prediksi.
Metode teori statistika tradisional seperti regresi
linier, uji hipotesis, atau distribusi probabilitas, menjadi dasar analisis
data selama lebih dari satu abad. Metode ini mengandalkan sampel terbatas dan
asumsi ketat seperti normalitas, homogenitas ragam dan linearitas. Namun di
tangan ahli, metode ini mampu menghasilkan wawasan mendalam seperti memprediksi
inflasi ekonomi atau mengidentifikasi faktor risiko penyakit. Sampai saat ini,
statistika klasik masih menjadi bahasa universal dalam dunia ilmiah untuk
menjelaskan suatu fenomena yang dianggap sahih serta menjadi dasar metode
maupun algoritma yang berkembang. Akan tetapi, pada era Big Data,
pendekatan konvensional dalam melakukan analisis seringkali tidak cukup untuk
menangani volume, kecepatan, dan variasi data yang tersedia disamping kebutuhan
manusia dari segi praktis.
Revolusi Data: Ketika 'Big Data'
Mengubah Permainan
Ledakan data transaksi finansial, media sosial hingga
sensor dan IoT (Internet of Thinks) pada awal abad ke-21 membawa paradigma
baru. Setelah IDC (International Data Corporation) memprediksi volume data
global pada 2025 akan mencapai 175 zettabyte (1 zettabyte = 1 triliun gigabyte)
sejak tahun 2018 silam, saat ini mereka meramalkan trafic data naik 100%
pada tahun 2026. Di sinilah statistika komputasi muncul sebagai jembatan antara
teori dan praktik. Algoritma seperti random forest, clustering,
dan neural networks mulai digunakan untuk mengolah data yang
tidak terstruktur, noisy, dan berdimensional tinggi menggunakan tools
seperti Python, R, dan Apache Hadoop menjadi senjata wajib bagi dunia usaha dan
para ilmuwan.
AI-Driven: Analisis dan Pengambilan
Keputusan berdasarkan AI
Tantangan baru yang muncul selanjutnya adalah “bagaimana
menganalisis data yang terlalu besar yang tidak bisa diabaikan, namun dilakukan
secara otomatis guna mengambil keputusan?”. Jawaban pertanyaan tersebut datang
dari integrasi Analisis Big Data dan pembelajanarn mesin (Machine Learning/
ML). Sistem AI-driven tidak hanya mampu menganalisis data, tetapi juga belajar
dari pola yang terus diperbarui. Contoh nyata terlihat di sektor kesehatan, di
mana model AI mampu mendeteksi kanker dari gambar radiologi dengan
akurasi melebihi dokter manusia. Di bidang finansial, algoritma reinforcement
learning digunakan untuk optimasi portofolio investasi secara real-time.
Meskipun demikian transformasi dalam bidang analisis ini
mengandung risiko. Overfitting, bias algoritmik, dan "black box"
AI menjadi masalah serius jika tidak tersupervisi dengan baik oleh manusia
expert. Analisis AI-driven yang terlalu bergantung pada data historis,
misalnya, dapat mengabadikan diskriminasi sistemik. Contoh kasus pada
rekrutment amazon berbasis AI
mengeleminasi calon karyawan wanita secara otomatis. Amazon pernah
mengembangkan sistem rekrutmen berbasis kecerdasan artificial (AI) yang secara
otomatis mendiskriminasi calon karyawan wanita. Sistem ini, yang dirancang
untuk menyaring resume pelamar, ternyata lebih memilih kandidat laki-laki. Hal
ini terjadi karena data historis yang digunakan untuk melatih algoritma
tersebut didominasi oleh resume laki-laki, sehingga AI "belajar"
bahwa kandidat pria lebih sesuai untuk posisi yang tersedia. Akibatnya, setiap
kali kata "perempuan" ditambahkan sebelum aktivitas tertentu dalam
resume, sistem AI memberikan penilaian yang lebih rendah. Temuan ini
menunjukkan bahwa bias dalam data pelatihan dapat menyebabkan algoritma membuat
keputusan yang diskriminatif. Bisa dilihat di artikel https://arxiv.org/abs/2004.07132?utm_source=chatgpt.com.
Masa Depan: Kolaborasi Manusia-Mesin
Dalam dunia AI ada istilah Artificial General
Intelligence (AGI), atau dalam bahasa Indonesia disebut Kecerdasan Artifisial
Umum, merujuk pada jenis kecerdasan artifisial yang memiliki kemampuan untuk
memahami, belajar, dan menerapkan pengetahuan dalam berbagai situasi yang
setara dengan kemampuan kognitif manusia. AGI berbeda dengan Kecerdasan Artifisial
Terbatas (Narrow AI) yang selama ini kita kenal, yang dirancang untuk
menyelesaikan tugas tertentu, seperti mengenali wajah, menerjemahkan bahasa,
atau merekomendasikan produk.
Beberapa ciri khas AGI antara
lain:
- Kemampuan Pembelajaran Universal:
AGI dapat belajar dan beradaptasi dengan berbagai jenis tugas tanpa perlu
diberi data atau program khusus untuk setiap tugas baru. Misalnya, jika
AGI diajari cara bermain catur, ia juga bisa belajar cara bermain game
lain atau menyelesaikan masalah matematika.
- Pemahaman Konteks: AGI mampu
memahami konteks dan situasi yang berbeda, bukan hanya menjalankan
instruksi atau proses yang telah diprogram. Ini termasuk kemampuan untuk
memahami nuansa, emosi, atau bahkan moralitas dalam pengambilan keputusan.
- Pengambilan Keputusan yang Kompleks:
AGI dapat membuat keputusan yang lebih kompleks dan bernuansa,
mempertimbangkan banyak faktor sekaligus, sama seperti cara manusia
mengambil keputusan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan emosi.
- Fleksibilitas: Tidak
seperti AI terbatas yang sangat spesifik untuk satu jenis pekerjaan, AGI
mampu menyelesaikan berbagai tugas yang memerlukan kecerdasan umum, dari
pengolahan bahasa alami hingga pemecahan masalah teknis yang lebih rumit.
Dari sisi Etika AI pada ahli AI menyatakan bahwa AGI tidak
seharusnya diproduksi dan perlu pengelolaan batasan karena dampak masa
mendatang akan sangat dirasakan manusia. Setiap produk AI seharusnya ada manusia
yang mengendalikan dan masa singularitas AI tidak seharusnya terjadi.
Dari teori ke data-driven, lalu ke AI-driven,
transformasi analisis modern mencerminkan jawaban dinamika zaman yang terus
berubah. Peluang untuk mendorong inovasi terbuka lebar namun tantangan etis dan
teknis juga mengiringi. "Data is new oil," tetapi hanya dengan
kecerdasan manusia dan kecerdasan mesin -AI-, kita bisa menyulingnya menjadi
kemajuan yang berarti.